Senin, 22 September 2014

MENJADI INDONESIA KINI

Share on :
CAKRAWALA kemerdekaan senantiasa terasa dalam hingar-bingar perayaannya. Minggu, 17 Agustus 2014, genap 69 tahun republik ini lahir. Tentu bukanlah usia tua bagi sebuah negara-bangsa. Separuh abad lebih bangsa ini mengarungi bahtera-negara, serta tentu dengan tujuan yang sangat jauh dan luas, usia 69 tahun masihlah sangat dini untuk berbicara pelabuhan tujuan. 

Parameternya cukup jelas, kemerdekaan negara ini dibangun dalam cita-cita yang agung. Termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar tahun 1945 bahwasanya negara ini dibangun dengan tujuan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Tentu perjalanannya masih sangatlah jauh untuk mencapai sejarah monumental dalam meraih cita-citanya. Negara ini masih terseok-seok dalam permasalahan yang terkadang justru hadir dalam keadaan gelap (kebodohan struktural) atau justru hadir dalam keadaan lemah bahkan pincang (kemiskinan struktural).


Mengutip sejarawan Arnold Toynbee dan Edward Gibbon, Presiden Soekarno pernah menegaskan, “Suatu bangsa yang besar tidak akan runtuh, tidak akan tenggelam, kecuali jika dirobek-robek, pecah dari dalam. Jatuhnya suatu bangsa bukan perbuatan musuh dari luar. Musuh apa pun, kalau melawan bangsa yang kuat, tidak akan menghancurkan bangsa itu, kecuali bangsa itu merusak dirinya sendiri.” Sehingga dari awal Soekarno mewanti-wanti kepada kita sebagai sebuah bangsa, bahwa kunci kokoh dan berdiri tegaknya republik ini, bergantung kepada tangan kita sendiri.

Kini 69 tahun sudah. Memasuki percaturan global yang semakin ketat, bangsa ini perlu menyingkap berbagai aspek peluang dan tantangan yang akan dihadapi.  Usia 69 tahun ini adalah momentum bagi bangsa ini untuk bangkit, tentu kita tidak ingin menjadi bangsa yang terpuruk dan hanya akan menjadi sebuah prasasti sejarah masa lalu. Kini mari kita membuka mata dengan sorot mata yang tajam, karena seakan waktu tidak memberikan kita kesempatan untuk berkedip dengan begitu derasnya arus perubahan global.


Momentum kemerdekaan tahun ini pun menjadi sebagai penanda pergantian ‘era’ atau ‘zaman’. Terbukanya hijab pembatas antara generasi 1945 dengan generasi setelahnya. Hal ini menjadikan kepemimpinan bangsa Indonesia lambat laun mulai diisi oleh generasi-generasi baru. Generasi yang secara karakter tentu berbeda, lahir dalam zaman yang berbeda. Generasi ini tidak mengenal apa itu perjuangan gerilya, pertempuran versus kolonialisme. Akan tetapi generasi ini hadir dan lahir dalam kondisi bangsa ini sudah merdeka, bangsa ini sudah berdaulat untuk menentukan dirinya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, pada ‘era’ ini akan ditopang oleh generasi-generasi ‘native information tecnology’. Lahirnya generasi-generasi yang cukup jauh dari zaman kemerdekaan tahun 1945. Generasi ini memiliki ciri utamanya adalah mereka yang merdeka-bebas serta nilai feodal dalam struktur sosial mulai terkikis. Dengan katalis teknologi informasi generasi ini lahir dengan arus pendewasaan yang begitu cepat; saat zaman memaksa untuk berlari, dinamika dengan segala warna-warninya,  ketika intelektualitas dapat mudah diakses dengan bebas dan cepat,  peluang semakin sempit serta persaingan individu semakin ketat, dan juga ketika sikap kritis, bersuara, berperilaku dan demokrasi bebas untuk dilakukan. Era ini mengharuskan hadirnya generasi dengan kreativitas tinggi, inovatif serta adaptif dalam menyikapi segala perubahan.

Di dalam tekanan arus perubahan global yang begitu cepat, akan berdampak signifikan pula pada pertumbuhan pembangunan negara. Akan tetapi pertanyaannya, “Siapakah nantinya yang menjadi ‘driving force’ dalam menggerakan perubahan-perubahan yang ada?” Thomas L. Friedman pernah menjawab pertanyaan ini, bahwasanya masa depan globalisasi tidak lagi akan bertumpu kepada peran negara dan perusahaan-perusahaan multinasional. Akan tetapi yang menjadi penggerak perubahan-perubahan besar di masa depan dapat mungkin disebabkan oleh individu-individu tanpa adanya katalis negara atau lembaga-lembaga multinasional.

Imunitas sebuah bangsa

Siapa pun yang akan menggerakkan bangsa ini di masa depan jelas memerlukan sistem imun yang membentengi bangsa ini agar tetap dalam khittahnya. Tentu kita tahu, bangsa ini terdiri dari ribuan etnik, tersebar dalam ribuan pulau, berbagai macam perbedaan yang ada maka diperlukannya bangunan negara yang kokoh. Negara yang tidak boleh rapuh, yang mampu mengakomodasi segala perbedaan di dalam dan mampu mengakomodasi perubahan dari luar.

Terlebih dengan terjadinya reformasi politik dan reformasi lembaga mulai 1998 hingga kini, menyebabkan kekuasaan negara terhadap rakyat (bangsa) semakin terkikis.  Peran negara semakin dikerdilkan, sementara tuntutan, harapan serta tanggung jawab yang diberikan kepada pundak negara begitu besar. Negara kini hanya menjadi sebuah fasilitator, tak mampu membendung arus perubahan global atau tidak mampu mendorong perubahan sosial yang ada di masyarakat.

Maka rasa-rasanya sistem imun ini tidak dapat dilakukan melalui gerakan struktural vertikal. Akan tetapi sistem imunitas ini harus disuntik ke dalam melalui gerakan kultur horizontal melalui pendidikan (pendidikan berkarakter). Pendidikan ini pula yang diharapkan mampu menjadi kunci pertumbuhan kesejahteraan masyarakat.

Peran kaum muda terdidik

Melalui pendidikan inilah bangsa Indonesia harus melahirkan generasi yang unggul. Generasi terdidik yang memiliki spesifikasi khusus dalam kemampuannya. Sehingga mampu membangkitkan berbagai sektor potensial Tanah Air.

Maju atau mundurnya bangsa ini ke depan akan sangat bergantung pada generasi muda. Maka tumpuan utamanya adalah kepada kaum muda terdidik. Karena generasi inilah yang mempunyai peluang untuk melakukan mobilisasi sosial masyarakat kelas bawah menuju masyarakat kelas menengah. Tentu peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat menjadi modal dalam membangun negara yag kuat. Selain itu kaum muda terdidik ini diharapkan mampu memutus mata rantai kemiskinan turunan yang sulit terpecahkan.

Selain itu, kaum muda terdidik ini harus mampu menerjemahkan jati diri bangsa agar tetap sesuai dengan khitahnya dalam arus perubahan global. Kaum muda terdidik ini harus menjadi agen imuniter yang membentengi bangsa ini dari kehancuran. Kaum muda terdidik ini pula harus memastikan agar kompas negara tepat mengarah sesuai dengan cita-citanya.

Menjadi Indonesia kini

Indonesia kini adalah Indonesia yang menjadi bagian dari dunia. Juga mengartikan bahwa Indonesia kini adalah Indonesia yang harus mampu berkompetisi dalam skala global. Apakah kita akan menerima secara bulat perubahan global atau justru kita akan determinan dari perubahan tersebut. Menjadi Indonesia kini adalah menjadi individu-individu yang harus membaca peluang dan tantangan. Menjadi Indonesia kini adalah menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa memiliki nilai romantisme dedikasi untuk negeri. Karena romantisme adalah sikap ‘tulus’ yang muncul dengan sendirinya.


“Wahai pemuda, jangan kau bawa bahtera-negeri ini dalam jalan gelap gulita (kebodohan), dan jangan engkau paksa berlari negeri ini dalam keadaan lemah serta pincang (kemiskinan). Mari bangun, jadilah bangsa yang unggul, jadilah bangsa yang kuat, jayalah negeriku”

Harry Hardiyana
Ketua Umum KAMMI Koms. Soedirman
Co-Founder Forum Studi Indonesia

di posting dalam :
http://kampus.okezone.com/read/2014/08/19/367/1026451/menjadi-indonesia-kini

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan