CAKRAWALA kemerdekaan senantiasa terasa dalam hingar-bingar
perayaannya. Minggu, 17 Agustus 2014, genap 69 tahun republik ini lahir. Tentu
bukanlah usia tua bagi sebuah negara-bangsa. Separuh abad lebih bangsa ini
mengarungi bahtera-negara, serta tentu dengan tujuan yang sangat jauh dan luas,
usia 69 tahun masihlah sangat dini untuk berbicara pelabuhan tujuan.
Parameternya cukup jelas, kemerdekaan negara ini dibangun
dalam cita-cita yang agung. Termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar tahun
1945 bahwasanya negara ini dibangun dengan tujuan untuk “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.” Tentu perjalanannya masih sangatlah jauh untuk mencapai sejarah monumental
dalam meraih cita-citanya. Negara ini masih terseok-seok dalam permasalahan
yang terkadang justru hadir dalam keadaan gelap (kebodohan struktural) atau
justru hadir dalam keadaan lemah bahkan pincang (kemiskinan struktural).
Mengutip sejarawan Arnold Toynbee dan Edward Gibbon,
Presiden Soekarno pernah menegaskan, “Suatu bangsa yang besar tidak akan
runtuh, tidak akan tenggelam, kecuali jika dirobek-robek, pecah dari dalam.
Jatuhnya suatu bangsa bukan perbuatan musuh dari luar. Musuh apa pun, kalau
melawan bangsa yang kuat, tidak akan menghancurkan bangsa itu, kecuali bangsa
itu merusak dirinya sendiri.” Sehingga dari awal Soekarno mewanti-wanti kepada
kita sebagai sebuah bangsa, bahwa kunci kokoh dan berdiri tegaknya republik
ini, bergantung kepada tangan kita sendiri.
Kini 69 tahun sudah. Memasuki percaturan global yang semakin
ketat, bangsa ini perlu menyingkap berbagai aspek peluang dan tantangan yang
akan dihadapi. Usia 69 tahun ini adalah
momentum bagi bangsa ini untuk bangkit, tentu kita tidak ingin menjadi bangsa
yang terpuruk dan hanya akan menjadi sebuah prasasti sejarah masa lalu. Kini
mari kita membuka mata dengan sorot mata yang tajam, karena seakan waktu tidak
memberikan kita kesempatan untuk berkedip dengan begitu derasnya arus perubahan
global.
Momentum kemerdekaan tahun ini pun menjadi sebagai penanda
pergantian ‘era’ atau ‘zaman’. Terbukanya hijab pembatas antara generasi 1945
dengan generasi setelahnya. Hal ini menjadikan kepemimpinan bangsa Indonesia
lambat laun mulai diisi oleh generasi-generasi baru. Generasi yang secara
karakter tentu berbeda, lahir dalam zaman yang berbeda. Generasi ini tidak
mengenal apa itu perjuangan gerilya, pertempuran versus kolonialisme. Akan
tetapi generasi ini hadir dan lahir dalam kondisi bangsa ini sudah merdeka,
bangsa ini sudah berdaulat untuk menentukan dirinya sendiri dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, pada ‘era’ ini akan ditopang oleh
generasi-generasi ‘native information tecnology’. Lahirnya generasi-generasi
yang cukup jauh dari zaman kemerdekaan tahun 1945. Generasi ini memiliki ciri
utamanya adalah mereka yang merdeka-bebas serta nilai feodal dalam struktur
sosial mulai terkikis. Dengan katalis teknologi informasi generasi ini lahir
dengan arus pendewasaan yang begitu cepat; saat zaman memaksa untuk berlari,
dinamika dengan segala warna-warninya,
ketika intelektualitas dapat mudah diakses dengan bebas dan cepat, peluang semakin sempit serta persaingan
individu semakin ketat, dan juga ketika sikap kritis, bersuara, berperilaku dan
demokrasi bebas untuk dilakukan. Era ini mengharuskan hadirnya generasi dengan
kreativitas tinggi, inovatif serta adaptif dalam menyikapi segala perubahan.
Di dalam tekanan arus perubahan global yang begitu cepat,
akan berdampak signifikan pula pada pertumbuhan pembangunan negara. Akan tetapi
pertanyaannya, “Siapakah nantinya yang menjadi ‘driving force’ dalam
menggerakan perubahan-perubahan yang ada?” Thomas L. Friedman pernah menjawab
pertanyaan ini, bahwasanya masa depan globalisasi tidak lagi akan bertumpu
kepada peran negara dan perusahaan-perusahaan multinasional. Akan tetapi yang
menjadi penggerak perubahan-perubahan besar di masa depan dapat mungkin
disebabkan oleh individu-individu tanpa adanya katalis negara atau lembaga-lembaga
multinasional.
Imunitas sebuah bangsa
Siapa pun yang akan menggerakkan bangsa ini di masa depan
jelas memerlukan sistem imun yang membentengi bangsa ini agar tetap dalam
khittahnya. Tentu kita tahu, bangsa ini terdiri dari ribuan etnik, tersebar dalam
ribuan pulau, berbagai macam perbedaan yang ada maka diperlukannya bangunan
negara yang kokoh. Negara yang tidak boleh rapuh, yang mampu mengakomodasi
segala perbedaan di dalam dan mampu mengakomodasi perubahan dari luar.
Terlebih dengan terjadinya reformasi politik dan reformasi
lembaga mulai 1998 hingga kini, menyebabkan kekuasaan negara terhadap rakyat
(bangsa) semakin terkikis. Peran negara
semakin dikerdilkan, sementara tuntutan, harapan serta tanggung jawab yang
diberikan kepada pundak negara begitu besar. Negara kini hanya menjadi sebuah
fasilitator, tak mampu membendung arus perubahan global atau tidak mampu
mendorong perubahan sosial yang ada di masyarakat.
Maka rasa-rasanya sistem imun ini tidak dapat dilakukan
melalui gerakan struktural vertikal. Akan tetapi sistem imunitas ini harus
disuntik ke dalam melalui gerakan kultur horizontal melalui pendidikan
(pendidikan berkarakter). Pendidikan ini pula yang diharapkan mampu menjadi
kunci pertumbuhan kesejahteraan masyarakat.
Peran kaum muda terdidik
Melalui pendidikan inilah bangsa Indonesia harus melahirkan
generasi yang unggul. Generasi terdidik yang memiliki spesifikasi khusus dalam
kemampuannya. Sehingga mampu membangkitkan berbagai sektor potensial Tanah Air.
Maju atau mundurnya bangsa ini ke depan akan sangat
bergantung pada generasi muda. Maka tumpuan utamanya adalah kepada kaum muda
terdidik. Karena generasi inilah yang mempunyai peluang untuk melakukan
mobilisasi sosial masyarakat kelas bawah menuju masyarakat kelas menengah. Tentu
peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat menjadi modal dalam membangun negara
yag kuat. Selain itu kaum muda terdidik ini diharapkan mampu memutus mata
rantai kemiskinan turunan yang sulit terpecahkan.
Selain itu, kaum muda terdidik ini harus mampu menerjemahkan
jati diri bangsa agar tetap sesuai dengan khitahnya dalam arus perubahan
global. Kaum muda terdidik ini harus menjadi agen imuniter yang membentengi
bangsa ini dari kehancuran. Kaum muda terdidik ini pula harus memastikan agar
kompas negara tepat mengarah sesuai dengan cita-citanya.
Menjadi Indonesia kini
Indonesia kini adalah Indonesia yang menjadi bagian dari
dunia. Juga mengartikan bahwa Indonesia kini adalah Indonesia yang harus mampu
berkompetisi dalam skala global. Apakah kita akan menerima secara bulat
perubahan global atau justru kita akan determinan dari perubahan tersebut.
Menjadi Indonesia kini adalah menjadi individu-individu yang harus membaca
peluang dan tantangan. Menjadi Indonesia kini adalah menjadi pribadi-pribadi
yang senantiasa memiliki nilai romantisme dedikasi untuk negeri. Karena romantisme
adalah sikap ‘tulus’ yang muncul dengan sendirinya.
“Wahai pemuda, jangan kau bawa bahtera-negeri ini dalam
jalan gelap gulita (kebodohan), dan jangan engkau paksa berlari negeri ini
dalam keadaan lemah serta pincang (kemiskinan). Mari bangun, jadilah bangsa
yang unggul, jadilah bangsa yang kuat, jayalah negeriku”
Harry Hardiyana
Ketua Umum KAMMI Koms. Soedirman
Co-Founder Forum Studi Indonesia
di posting dalam :
http://kampus.okezone.com/read/2014/08/19/367/1026451/menjadi-indonesia-kini
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan