Kamis, 06 Februari 2014

JONGGOL TENGGELAM BERSAMA REZIM SOEHARTO

Share on :

 Oleh : Harry Hardiyana

Digadang-gadang menjadi ibu kota negara Republik Indonesia, Jonggol nyaris menjadi daerah yang berkembang secara instan dan dramatis. Rezim Soeharto yang menetapkan Jonggol sebagai pegganti ibu kota negara “Jakarta”, hampir saja Jonggol menjadi daerah kiblat baru di negeri ini. Konsekuansi hal ini tentu saja pembangunan infrastrukur dan semua pembangunan fasilitas pelengkap pusat pemerintahan akan di bangun di daerah Jonggol ini.


Wacana ini sebetulnya sudah terlihat. Pembagunan taman buah mekarsari beserta menjamurnya usaha properti kelas elit di wilayah sekitar jonggol ( Cileungsi ) yang banyak di motori oleh keluarga cendana ( Soeharto ) mengindikasikan wilayah bogor timur ini telah disiapkan menjadi pusat perputaran uang dan ekonomi baru.


Namun sayang, rencana ini hilang begitu saja bersama runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.  Tidak dipungkiri Jonggol pun terlupa, bersama penguasa yang pernah memberi angin segar. Namun kini, Jonggol masih saja menjadi monumen masa lampau di pinggir kota besar, sementara daerah sekitarnya Cileungsi, bekasi, Jakarta, Cikarang-serang jauh berkembang pesat.



Miris memang, sudah dua tahun lebih saya tidak begitu erat dengan suasana Jonggol. Sudah dua tahun ini pula saya melihat Jonggol tidak mengalami perubahan yang begitu signifikan. Jonggol hari ini dengan lima tahun lalu hampir sama. Seolah masyarakat Jonggol begitu setia dengan ketertinggalan,  memang terjadi pembangunan beberapa sektor disana-sini, tapi tidak merubah apa-apa pada kesejahteraan masyarakatnya.


Saya ingin mengutip dari Ustadz Hilmi Aminudin, bahwa pembagunan paling tidak haruslah mencakup dua, yakni keadilan dan kesejahteraan pada masyrakatnya. Keadilan dan kesejahteraan adalah ibarat dua sisi mata uang yang berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan. Keadilan adalah menyoal pembagungan dalam bidang politik, hak masyarakatnya, pengakuan keberadaan dan juga kebijakan pemerintahnya.


Semetara kesejahteraan adalah menyoal pembangunan ekonomi. Sehingga kedua pembangunan ini begitu sangat penting untuk diperhatikan, karena menyangkut pembangunan dasar masyarakat menuju masyarakat yang mandiri. Maka perlu diperhatikan tiga hal yang perlu dilakukan dalam konteks Jonggol menurut saya.




Pertama, perlu dilakukannya pembangunan secara integral. Hal ini diperlukan untuk memperhatikan pembangunan secara komferehensif semua sektoral. Saya melihat saat ini Jonggol masih gamang, apakah akan menjadi daerah Industri, pemukiman ataupun daerah agraris. Hal ini perlu dilakukan, agar pembangunan terarah pada kesejahteraan masyarakat Jonggol.


Hari ini, saya melihat masyarakat Jonggol lebih banyak terbawa arus ( sangat dipengaruhi ) oleh  wilayah sekitarnya yang sudah terlanjur berkembang lebih dulu baik dari segi budaya maupun ekonomi. Wilayah Bekasi-serang-Cikarang yang merupakan pusat Industri penyokong kota megapolitan secara tidak langsung menarik masyarakat Jonggol mencari pekerjaan menyebrang ke daerah sana, hal ini karena memang konsekuensi dari lapangan pekerjaan di Jonggol yang minim. Belum lagi pengaruh budaya yang dibawa dari daerah Jakarta yang mulai merubah kearifan lokal masyarakat Jonggol, yang memang sebagai wilayah pinggir Ibu kota Negara. Dengan akses yang cukup  dekat ini, masyarakat Jonggol berubah menjadi masyarakat konsumtif bahkan bergaya “kota”. Tidak salah memang, akan tetapi hal ini perlu dibarengi dengan pembangunan daerah Jonggol itu sendiri seharusnya, bukan malah hanya menjadi peramai kota-kota besar disekitarnya.


Kedua, Pembangunan di daerah Jonggol haruslah bersifat universal. Maksudnya adalah pembangunan yang dilakukan di Jonggol haruslah terencana dipahami seluruh masyarakatnya dan dapat dijalankan secara berkelanjutan. Sehingga hal ini dapat dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Saya khawatir, budaya kekerasan ( tawuran ) dan  pergaulan bebas yang kita saat ini harus berkata jujur dan tidak menutup mata sudah banyak merasuk pada kalangan pelajar Jonggol. Ironi, sangat membahayakan Jonggol kedepannya. Jangan sampai jonggol akan tetap saja menjadi prasasti ketertinggalan di masa depan, lebih-lebih jika ternyata jonggol melahirkan pemuda “preman” generasi penerus masa depan.


Hemat saya, di Jonggol diperlukan gerakan kesadaran akan pentignya pendidikan tinggi kepada masyarakatnya. Jonggol haruslah melahirkan generasi-generasi yang mumpuni di berbagai sektor bahkan pakar yang mampu menjawab permasalahan –permasalahan yang ada di Jonggol, dan terdidik tentunya. hal ini dikarenakan tingkat siswa/siswi SMA/sederajat yang melanjutkan kepada jenjang pendidikan tinggi untuk sekolah-sekolah di Jonggol masih sangatlah minim. Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan, “bagaimana caranya?” semoga ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama dan bahan pikiran kita bersama dan tentunya semua stakeholder di Jonggol.


Ketiga, pembangunan haruslah berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat. Ada dua hal pemberdayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah Jonggol. yang pertama adalah pemberdayaan politik, hal ini bukan berarti kepada politik praktis. Akan tetapi lebih kepada membawa masyarakat memahami peran dan fungsinya. Yang kedua adalah pemberdayaan ekonomi, hal ini perlu dipikirkan oleh pemerintah Jonggol agar melahirkan masyarakat yang mandiri dalam ekonomi. Hal ini mungkin dapat direalisasikan dalam bentuk program-program daerah, sehingga jonggol berkembang nantinya bukan hanya secara struktural akan tetapi jonggol berkembang secara mandiri-kultural.


Saya menulis ini tidak lain sebagai bentuk rindu saya selama di perantauan kepada Jonggol tempat dimana saya besar dan tempat pembentukan karakter. Serta tulisan ini juga sebagai bentuk autokritik kepada diri saya pribadi yang belum bisa memberikan kontribusi apa-apa untuk Jonggol.


Terakhir, saya ingin mengutip pendapat Eep Saefullah Fatah ( seorang pengamat politik/Universitas Indonesia ), kelahiran Kec. Cibarusah-Bekasi yang sama mengomentari tanah kelahirannya Cibarusah yang juga berbatasan dengan Kec. Jonggol yang mungkin juga relevan dengan Jonggol. yakni ; “Upaya keluar dari ketertinggalan hanya mugkin memperoleh hasil manakala ada upaya serius dalam tiga hal sekaligus. Pertama,  upaya menumbuhkan kesadaran bahwa mereka tertinggal. Kedua, upaya memperbaiki kemampuan pengorganisasian sosial di tengah masyarakat sehingga mereka mampu mejadi penentu atau subjek dalam menentukan kemajuan atau ketertinggalan mereka sendiri. Ketiga, upaya membawa ruang publik dan tawar sosial ekonomi masyarakat berhadapan dengan sistem yang menekan.”

Wallahu a’lam bish-shawab

Ditengah gemercik hujan dan mendung yang senantiasa menemani ;
Jonggol, 06 Februari 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan