Oleh : Harry Hardiyana
Digadang-gadang menjadi ibu kota negara Republik Indonesia, Jonggol
nyaris menjadi daerah yang berkembang secara instan dan dramatis. Rezim
Soeharto yang menetapkan Jonggol sebagai pegganti ibu kota negara
“Jakarta”, hampir saja Jonggol menjadi daerah kiblat baru di negeri ini.
Konsekuansi hal ini tentu saja pembangunan infrastrukur dan semua
pembangunan fasilitas pelengkap pusat pemerintahan akan di bangun di
daerah Jonggol ini.
Wacana ini sebetulnya
sudah terlihat. Pembagunan taman buah mekarsari beserta menjamurnya
usaha properti kelas elit di wilayah sekitar jonggol ( Cileungsi ) yang
banyak di motori oleh keluarga cendana ( Soeharto ) mengindikasikan
wilayah bogor timur ini telah disiapkan menjadi pusat perputaran uang
dan ekonomi baru.
Namun sayang, rencana ini
hilang begitu saja bersama runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Tidak dipungkiri Jonggol pun terlupa, bersama penguasa yang pernah
memberi angin segar. Namun kini, Jonggol masih saja menjadi monumen masa
lampau di pinggir kota besar, sementara daerah sekitarnya Cileungsi,
bekasi, Jakarta, Cikarang-serang jauh berkembang pesat.
Miris
memang, sudah dua tahun lebih saya tidak begitu erat dengan suasana
Jonggol. Sudah dua tahun ini pula saya melihat Jonggol tidak mengalami
perubahan yang begitu signifikan. Jonggol hari ini dengan lima tahun
lalu hampir sama. Seolah masyarakat Jonggol begitu setia dengan
ketertinggalan, memang terjadi pembangunan beberapa sektor disana-sini,
tapi tidak merubah apa-apa pada kesejahteraan masyarakatnya.
Saya
ingin mengutip dari Ustadz Hilmi Aminudin, bahwa pembagunan paling
tidak haruslah mencakup dua, yakni keadilan dan kesejahteraan pada
masyrakatnya. Keadilan dan kesejahteraan adalah ibarat dua sisi mata
uang yang berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan. Keadilan adalah
menyoal pembagungan dalam bidang politik, hak masyarakatnya, pengakuan
keberadaan dan juga kebijakan pemerintahnya.
Semetara
kesejahteraan adalah menyoal pembangunan ekonomi. Sehingga kedua
pembangunan ini begitu sangat penting untuk diperhatikan, karena
menyangkut pembangunan dasar masyarakat menuju masyarakat yang mandiri.
Maka perlu diperhatikan tiga hal yang perlu dilakukan dalam konteks
Jonggol menurut saya.
Pertama,
perlu dilakukannya pembangunan secara integral. Hal ini diperlukan untuk
memperhatikan pembangunan secara komferehensif semua sektoral. Saya
melihat saat ini Jonggol masih gamang, apakah akan menjadi daerah
Industri, pemukiman ataupun daerah agraris. Hal ini perlu dilakukan,
agar pembangunan terarah pada kesejahteraan masyarakat Jonggol.
Hari
ini, saya melihat masyarakat Jonggol lebih banyak terbawa arus ( sangat
dipengaruhi ) oleh wilayah sekitarnya yang sudah terlanjur berkembang
lebih dulu baik dari segi budaya maupun ekonomi. Wilayah
Bekasi-serang-Cikarang yang merupakan pusat Industri penyokong kota
megapolitan secara tidak langsung menarik masyarakat Jonggol mencari
pekerjaan menyebrang ke daerah sana, hal ini karena memang konsekuensi
dari lapangan pekerjaan di Jonggol yang minim. Belum lagi pengaruh
budaya yang dibawa dari daerah Jakarta yang mulai merubah kearifan lokal
masyarakat Jonggol, yang memang sebagai wilayah pinggir Ibu kota
Negara. Dengan akses yang cukup dekat ini, masyarakat Jonggol berubah
menjadi masyarakat konsumtif bahkan bergaya “kota”. Tidak salah memang,
akan tetapi hal ini perlu dibarengi dengan pembangunan daerah Jonggol
itu sendiri seharusnya, bukan malah hanya menjadi peramai kota-kota
besar disekitarnya.
Kedua,
Pembangunan di daerah Jonggol haruslah bersifat universal. Maksudnya
adalah pembangunan yang dilakukan di Jonggol haruslah terencana dipahami
seluruh masyarakatnya dan dapat dijalankan secara berkelanjutan.
Sehingga hal ini dapat dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Saya
khawatir, budaya kekerasan ( tawuran ) dan pergaulan bebas yang kita
saat ini harus berkata jujur dan tidak menutup mata sudah banyak merasuk
pada kalangan pelajar Jonggol. Ironi, sangat membahayakan Jonggol
kedepannya. Jangan sampai jonggol akan tetap saja menjadi prasasti
ketertinggalan di masa depan, lebih-lebih jika ternyata jonggol
melahirkan pemuda “preman” generasi penerus masa depan.
Hemat
saya, di Jonggol diperlukan gerakan kesadaran akan pentignya pendidikan
tinggi kepada masyarakatnya. Jonggol haruslah melahirkan
generasi-generasi yang mumpuni di berbagai sektor bahkan pakar yang
mampu menjawab permasalahan –permasalahan yang ada di Jonggol, dan
terdidik tentunya. hal ini dikarenakan tingkat siswa/siswi SMA/sederajat
yang melanjutkan kepada jenjang pendidikan tinggi untuk sekolah-sekolah
di Jonggol masih sangatlah minim. Tentu saja hal ini menimbulkan
pertanyaan, “bagaimana caranya?” semoga ini menjadi pekerjaan rumah kita
bersama dan bahan pikiran kita bersama dan tentunya semua stakeholder
di Jonggol.
Ketiga, pembangunan
haruslah berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat. Ada dua hal
pemberdayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah Jonggol. yang pertama
adalah pemberdayaan politik, hal ini bukan berarti kepada politik
praktis. Akan tetapi lebih kepada membawa masyarakat memahami peran dan
fungsinya. Yang kedua adalah pemberdayaan ekonomi, hal ini perlu
dipikirkan oleh pemerintah Jonggol agar melahirkan masyarakat yang
mandiri dalam ekonomi. Hal ini mungkin dapat direalisasikan dalam bentuk
program-program daerah, sehingga jonggol berkembang nantinya bukan
hanya secara struktural akan tetapi jonggol berkembang secara
mandiri-kultural.
Saya menulis ini tidak
lain sebagai bentuk rindu saya selama di perantauan kepada Jonggol
tempat dimana saya besar dan tempat pembentukan karakter. Serta tulisan
ini juga sebagai bentuk autokritik kepada diri saya pribadi yang belum
bisa memberikan kontribusi apa-apa untuk Jonggol.
Terakhir,
saya ingin mengutip pendapat Eep Saefullah Fatah ( seorang pengamat
politik/Universitas Indonesia ), kelahiran Kec. Cibarusah-Bekasi yang
sama mengomentari tanah kelahirannya Cibarusah yang juga berbatasan
dengan Kec. Jonggol yang mungkin juga relevan dengan Jonggol. yakni ;
“Upaya keluar dari ketertinggalan hanya mugkin memperoleh hasil manakala
ada upaya serius dalam tiga hal sekaligus. Pertama, upaya menumbuhkan kesadaran bahwa mereka tertinggal. Kedua, upaya
memperbaiki kemampuan pengorganisasian sosial di tengah masyarakat
sehingga mereka mampu mejadi penentu atau subjek dalam menentukan
kemajuan atau ketertinggalan mereka sendiri. Ketiga, upaya membawa ruang publik dan tawar sosial ekonomi masyarakat berhadapan dengan sistem yang menekan.”
Wallahu a’lam bish-shawab
Ditengah gemercik hujan dan mendung yang senantiasa menemani ;
Jonggol, 06 Februari 2014
Ditengah gemercik hujan dan mendung yang senantiasa menemani ;
Jonggol, 06 Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan