Minggu, 22 Juli 2012

NEGERI YANG KEHILANGAN JATI DIRI

Share on :

Oleh : Harry Hardiyana


Budaya pasang surut tidak menentu  yang terjadi di Negeri ini menunjukan sebuah indikasi negeri yang tidak mempunyai karakter terlalu kuat untuk bisa bertahan digerus jaman. Idiologi rasanya benar hanya menjadi simbol dan sebuah harapan saja.


Sudah lama hampir satu dekade lebih, bahkan lebih lama lagi dari itu, negeri ini seakan mengalami dormansi kepercayaan diri atau masa ketika idiologi dalam politik hilang bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kita lihat sekarang masa ketika partai politik menjamur bak barang dagangan.



Menjamurnya partai politik  saat ini bukanlah menunjukan keberhasilan dari sistem demokrasi. Justru dari kacamata awam saya menilai ini adalah kebobrokan dari sistem demokrasi dan juga sudah terlampau kebablasan.


Partai-partai bermunculan layaknya duplikat-duplikat dari partai-partai yang telah ada sebelumnya. Wacana-wacana perubahan dan janji yang ditawarkan tidak memberi tambahan nafas perubahan atau menghantarkan negeri ini ke fase pencapaian tujuan.


Program-program serta visi yang tidak jauh bebrbeda antara satu partai dengan partai lainnya menunjukan bahwa dengan menjamurnya partai politik terjadi pragmatisme kekuasaan yang ingin di capai.


Menjamurnya partai politik juga apabila kita cermati bersama bukanlah menghasilkan banyaknya pilihansolusi permasalahan yang ditawarkan oleh partai politik kepada rakyat. Tetapi justru sebagaimana yang saya sebutkan di atas partai politik membawa idiologi, visi dan program yang tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya.


Indikasi pragmatisme kekuasaanpun semakin marak terlihat dengan banyak ditemukannya politik uang dalam pemilihan legislatif bahkan pemilukada sekalipun. Lalu yang menjadi pertanyaan mendasar dari permasalahan ini  adalah dengan visi dan misi yang sama akan tetapi menyuarakan simbol-simbol ( partai ) yang berbeda-beda. Apakah yang terjadi saat ini partai benar-benar membawa suara idiologi atau justru suara golongan untuk meraih kekuasaan.


Partai politik saat ini bak angkutan umum . Menyuarakan solusi yang sama, program yang sama dan tujuan yang sama, akan tetapi membawa kendaraan masing-masing. Sehingga tidak aneh sama-sama satu trayek , satu arah, satu tujuan, tapi kadang saling sikut dan kadang  saling rebut demi kejar setoran. Tentu dengan modal yang tidak sedikit untuk membeli sebuah kendaraan, partai politikpun perlu nafkah untuk memenuhi keperluan makan.


Menjelang pemilihan umum 2014 dan walau terbilang masih cukup lama akan tetapi semakin marak partai politik membuat citra baik partainya, yang dilakukan oleh kader-kader partai politik tersebut. Dalam demokrasi sebetulnya sah-sah saja melakukan sebuah pencitraan. Namun lambat laun negeri ini dipenuhi dengan politik pencitraan, ditambah dengan hilangnya idiologi bangsa dalam proses politik, semakin membuat jauh dari karakter negeri sendiri atau bahkan hilang.


Sehingga harus kita ingat hampir seluruh kebijakan dan peraturan atau hukum di negeri ini melalui proses politik. Maka tokoh utama dari ini semua adalah partai plitik. Ketika partai politik tidak mempunyai idiologi yang jelas juga bahkan tujuan yang tidak jelas. Maka sangat mudah hukum dan kebijakan di negeri ini melenceng dari idiologinya sendiri.


Hal ini harus kita waspadai, dengan hilangnya idiologi sendiri dalam proses bernegara dan berbangsa, akan memberi celah doktrin-doktrin luar. Secara luas akan menyebabkan pengaruh yang sangat menonjol dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.


Semua proses yang terjadi dapat kita lihat dengan maraknya kebijakan neo liberalisme ekonimi, kapitalisme serta kebijakan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan juga sosial politik yang banyak mengalami pergeseran arah kebijakan menjadi kebijakan liberal. Secara bertahap negeri ini menuju ke fase negeri liberalisme.


Pendidikan dan kesehatan yang dijual belikan. Sepertinya negeri ini sudah lelah memikirkan hak-hak dasar rakyatnya. Seakan-akan nantinya pendidikan dan kesehatan adalah lahan bisnis, bahkan menjadi sumber pendapatan negara. Seperti kita lihat yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis dan liberalisme. Apabila hal ini terjhadi, dapat kita lihat nantinya pendidikan dan kesehatan hanya untuk orang-orang yang kaya. Seolah-olah orang miskin dilarang sakit dan sekolah.


Jelas sekali negeri ini memang mengalami kehilangan idiologi nya sendiri, yang dikatakan sebagai jati dirinya sendiri. Lambat atau cepat pergeseran budaya bangsapun akan semakin terlihat. Individualis, sikap memantingkan golongan atau kelompok masing-masing yang akan memperuncing perbedaan dan juga menyulut api permusuhan serta fanatik golongan. Sehingga kebebasan yang kebablasan akan benar-benar terjadi. Hal ini diakibatkan pemerintah membebaskan tanggung jawab atas hak-hak dasar rakyatnya. Sehingga rakyat akan berfikir pragmatis karena perut selalu menuntut. Rakyat akan lebih memikirkan kehidupannya sendiri karena pemerintahnyapun tidak akan ikut campur ketika urusan perut.
Maka yang terjadi adalah “yang kaya akan semakin kaya dan bagi orang miskin pemerintah buta dan tutup telinga”

Saya yakin kita tidak ingin negeri ini terus seperti ini. Saya berpikir negeri ini sebetulnya sedang mencari jati diri nya sendiri, jati diri dan idiologi yang tentunya mengantarkan keselamatan dan kesejahteraan.


“Bangunlah putera-puteri ibu pertiwi” kata bang Iwans Fals

Purwokerto,  20 Juli 2012
Harry Hardiyana

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan