Budaya pasang surut
tidak menentu yang terjadi di Negeri ini
menunjukan sebuah indikasi negeri yang tidak mempunyai karakter terlalu
kuat untuk bisa bertahan digerus jaman. Idiologi rasanya benar hanya menjadi
simbol dan sebuah harapan saja.
Sudah lama hampir
satu dekade lebih, bahkan lebih lama lagi dari itu, negeri ini seakan mengalami
dormansi kepercayaan diri atau masa ketika idiologi dalam politik hilang bahkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kita lihat sekarang masa ketika partai
politik menjamur bak barang dagangan.
Menjamurnya partai
politik saat ini bukanlah menunjukan
keberhasilan dari sistem demokrasi. Justru dari kacamata awam saya menilai ini
adalah kebobrokan dari sistem demokrasi dan juga sudah terlampau kebablasan.
Partai-partai
bermunculan layaknya duplikat-duplikat dari partai-partai yang telah ada
sebelumnya. Wacana-wacana perubahan dan janji yang ditawarkan tidak memberi
tambahan nafas perubahan atau menghantarkan negeri ini ke fase pencapaian
tujuan.
Program-program
serta visi yang tidak jauh bebrbeda antara satu partai dengan partai lainnya
menunjukan bahwa dengan menjamurnya partai politik terjadi pragmatisme
kekuasaan yang ingin di capai.
Menjamurnya partai
politik juga apabila kita cermati bersama bukanlah menghasilkan banyaknya
pilihansolusi permasalahan yang ditawarkan oleh partai politik kepada rakyat.
Tetapi justru sebagaimana yang saya sebutkan di atas partai politik membawa
idiologi, visi dan program yang tidak jauh berbeda antara satu dengan yang
lainnya.
Indikasi pragmatisme
kekuasaanpun semakin marak terlihat dengan banyak ditemukannya politik uang
dalam pemilihan legislatif bahkan pemilukada sekalipun. Lalu yang menjadi
pertanyaan mendasar dari permasalahan ini
adalah dengan visi dan misi yang sama akan tetapi menyuarakan
simbol-simbol ( partai ) yang berbeda-beda. Apakah yang terjadi saat ini partai
benar-benar membawa suara idiologi atau justru suara golongan untuk meraih
kekuasaan.
Partai politik saat
ini bak angkutan umum . Menyuarakan solusi yang sama, program yang sama dan
tujuan yang sama, akan tetapi membawa kendaraan masing-masing. Sehingga tidak
aneh sama-sama satu trayek , satu arah, satu tujuan, tapi kadang saling sikut
dan kadang saling rebut demi kejar setoran.
Tentu dengan modal yang tidak sedikit untuk membeli sebuah kendaraan, partai
politikpun perlu nafkah untuk memenuhi keperluan makan.
Menjelang pemilihan
umum 2014 dan walau terbilang masih cukup lama akan tetapi semakin marak partai
politik membuat citra baik partainya, yang dilakukan oleh kader-kader partai
politik tersebut. Dalam demokrasi sebetulnya sah-sah saja melakukan sebuah
pencitraan. Namun lambat laun negeri ini dipenuhi dengan politik pencitraan,
ditambah dengan hilangnya idiologi bangsa dalam proses politik, semakin membuat
jauh dari karakter negeri sendiri atau bahkan hilang.
Sehingga harus kita
ingat hampir seluruh kebijakan dan peraturan atau hukum di negeri ini melalui
proses politik. Maka tokoh utama dari ini semua adalah partai plitik. Ketika
partai politik tidak mempunyai idiologi yang jelas juga bahkan tujuan yang
tidak jelas. Maka sangat mudah hukum dan kebijakan di negeri ini melenceng dari
idiologinya sendiri.
Hal ini harus kita
waspadai, dengan hilangnya idiologi sendiri dalam proses bernegara dan
berbangsa, akan memberi celah doktrin-doktrin luar. Secara luas akan
menyebabkan pengaruh yang sangat menonjol dalam semua aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Semua proses yang
terjadi dapat kita lihat dengan maraknya kebijakan neo liberalisme ekonimi,
kapitalisme serta kebijakan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan juga sosial
politik yang banyak mengalami pergeseran arah kebijakan menjadi kebijakan liberal.
Secara bertahap negeri ini menuju ke fase negeri liberalisme.
Pendidikan dan
kesehatan yang dijual belikan. Sepertinya negeri ini sudah lelah memikirkan
hak-hak dasar rakyatnya. Seakan-akan nantinya pendidikan dan kesehatan adalah
lahan bisnis, bahkan menjadi sumber pendapatan negara. Seperti kita lihat yang
dilakukan oleh negara-negara kapitalis dan liberalisme. Apabila hal ini
terjhadi, dapat kita lihat nantinya pendidikan dan kesehatan hanya untuk
orang-orang yang kaya. Seolah-olah orang miskin dilarang sakit dan sekolah.
Jelas sekali negeri
ini memang mengalami kehilangan idiologi nya sendiri, yang dikatakan sebagai
jati dirinya sendiri. Lambat atau cepat pergeseran budaya bangsapun akan
semakin terlihat. Individualis, sikap memantingkan golongan atau kelompok
masing-masing yang akan memperuncing perbedaan dan juga menyulut api permusuhan
serta fanatik golongan. Sehingga kebebasan yang kebablasan akan benar-benar
terjadi. Hal ini diakibatkan pemerintah membebaskan tanggung jawab atas hak-hak
dasar rakyatnya. Sehingga rakyat akan berfikir pragmatis karena perut selalu
menuntut. Rakyat akan lebih memikirkan kehidupannya sendiri karena
pemerintahnyapun tidak akan ikut campur ketika urusan perut.
Maka yang terjadi
adalah “yang kaya akan semakin kaya dan bagi orang miskin pemerintah buta dan
tutup telinga”
Saya yakin kita
tidak ingin negeri ini terus seperti ini. Saya berpikir negeri ini sebetulnya
sedang mencari jati diri nya sendiri, jati diri dan idiologi yang tentunya
mengantarkan keselamatan dan kesejahteraan.
“Bangunlah
putera-puteri ibu pertiwi” kata bang Iwans Fals
Purwokerto, 20 Juli 2012
Harry
Hardiyana
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan