Senin, 18 Juni 2012

KURANGNYA TEKNOLOGI DALAM PERIKANAN TANGKAP, NELAYAN TRADISIONAL MENJERIT DENGAN ADANYA PUKAT HELA ( Trawl )

Share on :

Oleh : Harry Hardiyana

            Pro dan kontra dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.6/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara masih menimbulkan perdebatan dikalangan para ahli serta aktifis lingkungan sampai saat ini. Penggunaan alat tangkap periakanan pukat hela memang bertentangan dengan Kepres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl. Dimana pukat hela sendiri merupakan nama lain dari trawl yang telah dimodifikasi.
                                 
            Trawl atau dikenal dengan sebutan pukat harimau, LONG BEAGH SET NET /Jaring katong besar dan lain sebagainya merupakan sebuah alat tangkap ikan yang mempergunakan teknologi modern. Cara kerja trawl (pukat harimau) dalam setiap operasinya menggunakan jarring (pukat) yang diameternya cukup rapat dengan ukuran 0,5 milimeter.\ Jarring (pukat) tersebut disebar dengan mempergunakan tenaga mesin (sering juga disebut nelayan katrol) serta mempergunakan pemberat besi lebarnya 1 meter mirip seperti kura-kura yang membuat jarring (pukat) sampai kedasar laut. Setelah jarring (pukat) dan pemberat besi sampai kedasar laut kapal (boat) dengan berjalan sambil mengulur tali besarnya 4 cm sepanjang 200 meter dan melakukan penangkapan ikan. (Leonardo Marbun, 2008 )


            Alat tangkap trawl atau yang memliki nama lain seperti pukat layang, pukat setan, pukat hela, dan lain-lain sebetulnya merupakan alat tangkap yang efektif dalam penangkapan ikan, akan tetapi dengan spesifikasi diameter jaring pukat 0,5 milimeter, mesh size yang sangat kecil inilah yang penimbulkan perdebatan dikalangan para aktfis lingkungan. Pukat harimau ini atau nama lain dari trawl akan menangkap ikan-ikan kecil sehingga penggunaan yang tidak terkendali berdampak negatip pada kelestarian Sumber Daya Ikan ( SDI ). Selain itu trawl sendiri dalam penggunaan penagkapan udang merupakan alat yang sangat efektif sampai saat ini, akan tetapi penggunaan dan penangkapan udang dikawasan pesisir serta laut yang dangkal menyebabkan timbulnya kerusakan batu karang.

            Kembali terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.6/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara memang menjadi sebuah polemik tersendiri dalam dunia perikanan di Indonesia, diaman hal tersebut bertentangan dengan Kepres no.39 tahun 1980. Dalam sejarah terbentuknya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl dilatar belakangi selain faktor kerusakan lingkungan yang diakibatkan penggunaan trawl/pukat hela/pukat harimau juga dilatar belakangi oleh kepentingan-kepentingan politik pada saat itu. Yaitu terjadi penolakan dikalangan nelayan tradisional yang tidak mampu membeli satu set kapal trawl ataupun jaring trawl yang berkisar sekitar Rp. 80 juta, sehingga nelayan tradisional  menuntut pelarangan penggunaan jaring trawl yang secara langsung mengakibatkan kesenjangan sosial yang terjadi antara nelayan besar dengan nelayan tradisional. Penolakan tersebut karena hasil tangkapan nelayan tradisional menurun secara dratis dari hari ke hari. Mubyarto et.al, (1984). Sehingga asumsi yang timbul adalah demi kepentingan politik pada saat itu pemerintah melarang penggunaan trawl demi meraih suara rakyat dengan dalih lingkungan. Sehingga yang menjadi rancu adalah pada saat itu negara-negara lain masih menggunakan  trawl sebagai teknologi penangkapan ikan yang sangat efektif. Sehingga hasil tangkapan ikan Indonesia kalah saing bahkan dengan negara-negara kecil bahkan seperti vietnam.

Sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadi modifikasi-modifikasi alat tangkap trawl di Indonesia yang berubah nama dan diberikan ijin untuk melakukan penangkapan, yang pada dasarnya alat tersebut adalah trawl itu sendiri yang sudah sedikit dimodifikasi. Pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah dunia perikanan tangkap Indonesia dengan dikeluarkannya Kepres No.39 Tahun 1980 Tentang penghapusan Trawl.

            Di satu sisi dengan di ijinkannya penggunaan pukat hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara akan meingkatkan penangkapan ikan di perairan Indonesia yang akan berdampak kepada meningkatnya hasil pendapatan daerah. Di sisi lain teknologi pukat hela menimbulkan banyak dampak negatif yang merusak bagi lingkungan.


            Sebetulnya problem utama dunia perikanan tangkap Indonesia adalah diperlukannya teknologi bagi nelayan dalam pengkapan ikan yang ramah lingkungan , akan tetepi hingga saat ini pemerintah hanya menganggarkan pemberian perahu-perahu kecil untuk para nelayan. Sehingga yang terjadi adalah penangkapan Indonesia tidak maksimal bahkan batas maksimal penangkapan Indonesia “Total Allowable Catch” (TAC) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian. Nomor 473a/Kpts/IK.250.6/1985 tentang Jumlah Tangkapan Ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia saat ini masih di bantu dengan penangkapan kapal-kapal asing di Indonesia.

            Konsekuensi dengan peraturan “Total Allowable Catch” (TAC) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian. Nomor 473a/Kpts/IK.250.6/1985 tentang Jumlah Tangkapan Ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah apabila pemerintah mengumumkan potansi Sumber Daya Ikan Indonesia di Zona Ekonomi Ekslusif yang diperbolehkan di tangkap ( TAC ) sebesar 100%, akan tetapi Indonesia hanya mampu mengeksploitasi dari TAC tersbut 60% maka sisa 40% tersebut berhak untuk di ekploitasi oleh kapal asing. Inilah yang menjadi persoalan dalam dunia perikanan tangkap Indonesia, dengan dilarangnya trawl maka tidak ada alat tangkap yang efektif, disisi lain negara lain masih banyak yang menggunakan alat tangkap trawl sehingga mampu mengekspoitasi lebih banyak Sumber Daya Ikan di banding para nelayan tradisonal Indonesia yang hanya menggunakan perahu kecil dibawah 30 GT.

            Dunia perikanan tangkap Indonesia saat ini memerlukan teknologi penangkapan yang lebih efektif dan juga ramah lingkungan. Dengan berjalannya kemajuan teknologi bisa saja trawl di perbolehkan akan tetapi perlu pengawasan yang sangat ketat oleh pemerintah terkait di daerah manasajakah yang di perbolehkan penangkapan ikan ataupun udang menggunkan trawl atau pukat hela. Selain itu perlu diberikannya bantuan modal ataupun subsidi kepada para nelayan guna penerapan teknologi dalam penangkapan ikan ataupun dibentuknya kelompok-keolmpok nelayan yaang diberi bantuan modal untuk membeli perahu-perahu dengan kapasitas besar dan dengan teknologi yang efektif, bukan hanya diberikan bantuan kapal-kapal kecil kepada individu-individu nelayan tradisional, sehingga para nelayan tradisional hanya mampu mengeksploitasi Sumber Daya Ikan ( SDI ) di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia saja, bahkan tidak optimal serta tidak mampu mengeksploitasi lebih ke laut bebas atau di luar Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia ( ZEEI ).
Hingga saat ini yang terjadi adalah bantuan kepada nelayan  sangat minim. Kita ambil analogi dalam dunia pertanian, dalam pertanian terdapat bentuan penjaminan modal dan penjaminan kerugian akibat bencana yang dialami oleh petani, akan tetapi berbeda dengan nelayan yang mengalami bencana terhadap kapalnya, para nelayan akan tetap dipintai untuk mengembalikan modal, sehingga nelayan yang mengalami bencana terhadap kapalnya ketika melaut yang menaruhkan nyawanya masih dipintai untuk membayar modal, seperti pepatah mengatakan “Sudah terjatuh tertimpa tangga pula”. Selain sektor teknologi tangkap ikan yang perlu di perbaiki di Indonesia adalah di perlukan juga peraturan-peraturan yang mendukung guna terbentuknya kejayaan negara maritim Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan