Oleh : Harry
Hardiyana
Pro dan kontra dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.6/2008 tentang Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara masih
menimbulkan perdebatan dikalangan para ahli serta aktifis lingkungan sampai
saat ini. Penggunaan alat tangkap periakanan pukat hela memang bertentangan
dengan Kepres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl. Dimana pukat
hela sendiri merupakan nama lain dari trawl yang telah dimodifikasi.
Trawl atau dikenal dengan sebutan
pukat harimau, LONG BEAGH SET NET /Jaring katong besar dan lain sebagainya
merupakan sebuah alat tangkap ikan yang mempergunakan teknologi modern. Cara kerja
trawl (pukat harimau) dalam setiap operasinya menggunakan jarring (pukat) yang
diameternya cukup rapat dengan ukuran 0,5 milimeter.\ Jarring (pukat) tersebut
disebar dengan mempergunakan tenaga mesin (sering juga disebut nelayan katrol)
serta mempergunakan pemberat besi lebarnya 1 meter mirip seperti kura-kura yang
membuat jarring (pukat) sampai kedasar laut. Setelah jarring (pukat) dan
pemberat besi sampai kedasar laut kapal (boat) dengan berjalan sambil mengulur
tali besarnya 4 cm sepanjang 200 meter dan melakukan penangkapan ikan. (Leonardo Marbun, 2008 )
Alat tangkap trawl atau yang memliki
nama lain seperti pukat layang, pukat setan, pukat hela,
dan lain-lain sebetulnya merupakan alat tangkap yang efektif dalam penangkapan
ikan, akan tetapi dengan spesifikasi diameter jaring pukat 0,5 milimeter, mesh
size yang sangat kecil inilah yang penimbulkan perdebatan dikalangan para
aktfis lingkungan. Pukat harimau ini atau nama lain dari trawl akan menangkap
ikan-ikan kecil sehingga penggunaan yang tidak terkendali berdampak negatip
pada kelestarian Sumber Daya Ikan ( SDI ). Selain itu trawl sendiri dalam
penggunaan penagkapan udang merupakan alat yang sangat efektif sampai saat ini,
akan tetapi penggunaan dan penangkapan udang dikawasan pesisir serta laut yang
dangkal menyebabkan timbulnya kerusakan batu karang.
Kembali terkait Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No.6/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat
Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara memang menjadi sebuah polemik
tersendiri dalam dunia perikanan di Indonesia, diaman hal tersebut bertentangan
dengan Kepres no.39 tahun 1980. Dalam sejarah terbentuknya Keputusan Presiden
No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl dilatar belakangi selain
faktor kerusakan lingkungan yang diakibatkan penggunaan trawl/pukat hela/pukat
harimau juga dilatar belakangi oleh kepentingan-kepentingan politik pada saat
itu. Yaitu terjadi penolakan dikalangan nelayan tradisional yang tidak mampu
membeli satu set kapal trawl ataupun jaring trawl yang berkisar sekitar Rp. 80
juta, sehingga nelayan tradisional menuntut
pelarangan penggunaan jaring trawl yang secara langsung mengakibatkan
kesenjangan sosial yang terjadi antara nelayan besar dengan nelayan tradisional.
Penolakan tersebut karena hasil tangkapan nelayan tradisional menurun secara
dratis dari hari ke hari. Mubyarto et.al, (1984). Sehingga asumsi yang
timbul adalah demi kepentingan politik pada saat itu pemerintah melarang
penggunaan trawl demi meraih suara rakyat dengan dalih lingkungan. Sehingga
yang menjadi rancu adalah pada saat itu negara-negara lain masih
menggunakan trawl sebagai teknologi
penangkapan ikan yang sangat efektif. Sehingga hasil tangkapan ikan Indonesia
kalah saing bahkan dengan negara-negara kecil bahkan seperti vietnam.
Sehingga
hal tersebut mengakibatkan terjadi modifikasi-modifikasi alat tangkap trawl di
Indonesia yang berubah nama dan diberikan ijin untuk melakukan penangkapan,
yang pada dasarnya alat tersebut adalah trawl itu sendiri yang sudah sedikit
dimodifikasi. Pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah dunia perikanan tangkap
Indonesia dengan dikeluarkannya Kepres No.39 Tahun 1980 Tentang penghapusan
Trawl.
Di satu sisi dengan di ijinkannya
penggunaan pukat hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara akan
meingkatkan penangkapan ikan di perairan Indonesia yang akan berdampak kepada
meningkatnya hasil pendapatan daerah. Di sisi lain teknologi pukat hela
menimbulkan banyak dampak negatif yang merusak bagi lingkungan.
Sebetulnya problem utama dunia
perikanan tangkap Indonesia adalah diperlukannya teknologi bagi nelayan dalam
pengkapan ikan yang ramah lingkungan , akan tetepi hingga saat ini pemerintah
hanya menganggarkan pemberian perahu-perahu kecil untuk para nelayan. Sehingga
yang terjadi adalah penangkapan Indonesia tidak maksimal bahkan batas maksimal
penangkapan Indonesia “Total Allowable
Catch” (TAC) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian. Nomor
473a/Kpts/IK.250.6/1985 tentang Jumlah Tangkapan Ikan yang diperbolehkan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia saat ini masih di bantu dengan penangkapan
kapal-kapal asing di Indonesia.
Konsekuensi dengan peraturan “Total Allowable Catch” (TAC) berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian. Nomor 473a/Kpts/IK.250.6/1985 tentang Jumlah
Tangkapan Ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah
apabila pemerintah mengumumkan potansi Sumber Daya Ikan Indonesia di Zona
Ekonomi Ekslusif yang diperbolehkan di tangkap ( TAC ) sebesar 100%, akan
tetapi Indonesia hanya mampu mengeksploitasi dari TAC tersbut 60% maka sisa 40%
tersebut berhak untuk di ekploitasi oleh kapal asing. Inilah yang menjadi
persoalan dalam dunia perikanan tangkap Indonesia, dengan dilarangnya trawl
maka tidak ada alat tangkap yang efektif, disisi lain negara lain masih banyak
yang menggunakan alat tangkap trawl sehingga mampu mengekspoitasi lebih banyak
Sumber Daya Ikan di banding para nelayan tradisonal Indonesia yang hanya
menggunakan perahu kecil dibawah 30 GT.
Dunia perikanan tangkap Indonesia
saat ini memerlukan teknologi penangkapan yang lebih efektif dan juga ramah lingkungan.
Dengan berjalannya kemajuan teknologi bisa saja trawl di perbolehkan akan
tetapi perlu pengawasan yang sangat ketat oleh pemerintah terkait di daerah
manasajakah yang di perbolehkan penangkapan ikan ataupun udang menggunkan trawl
atau pukat hela. Selain itu perlu diberikannya bantuan modal ataupun subsidi
kepada para nelayan guna penerapan teknologi dalam penangkapan ikan ataupun
dibentuknya kelompok-keolmpok nelayan yaang diberi bantuan modal untuk membeli
perahu-perahu dengan kapasitas besar dan dengan teknologi yang efektif, bukan
hanya diberikan bantuan kapal-kapal kecil kepada individu-individu nelayan
tradisional, sehingga para nelayan tradisional hanya mampu mengeksploitasi
Sumber Daya Ikan ( SDI ) di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia saja,
bahkan tidak optimal serta tidak mampu mengeksploitasi lebih ke laut bebas atau
di luar Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia ( ZEEI ).
Hingga
saat ini yang terjadi adalah bantuan kepada nelayan sangat minim. Kita ambil analogi dalam dunia
pertanian, dalam pertanian terdapat bentuan penjaminan modal dan penjaminan
kerugian akibat bencana yang dialami oleh petani, akan tetapi berbeda dengan
nelayan yang mengalami bencana terhadap kapalnya, para nelayan akan tetap
dipintai untuk mengembalikan modal, sehingga nelayan yang mengalami bencana
terhadap kapalnya ketika melaut yang menaruhkan nyawanya masih dipintai untuk
membayar modal, seperti pepatah mengatakan “Sudah
terjatuh tertimpa tangga pula”. Selain sektor teknologi tangkap ikan yang
perlu di perbaiki di Indonesia adalah di perlukan juga peraturan-peraturan yang
mendukung guna terbentuknya kejayaan negara maritim Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik & Saran yang membangun sangat diharapkan